Selasa, 18 September 2012



Bangsa Kita : Ikan yang Lupa untuk Berenang

Selama 30 tahun lebih orde baru mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara, Pembangunan di tanah air sangat kental dengan “land-based”. Semua sistem pembangunan mulai dari identitas pencaharian konsumsi, ekonomi, hingga keamanan dan pertahanan. Sebagai contoh masyarakat tempo itu lebih terbiasa mendengar Indonesia sebagai negara agraris ketimbang negara maritim. Atau lebih lanjut jumlah pasukan matra darat jauh lebih banyak ketimbang matra laut. Semua ini tentu bukan terjadi begitu saja, tetapi dikonstruksi oleh pola pikir atau kepentingan politik. Sebab jika kita lihat prosentase geografis antara perairan dan daratan, tidak bisa diragukan lagi bahwa Indonesia merupakan negara kelautan atau maritim.

Pada kesempatan ini poin-poin pembangunan yang ingin dibahas utamanya pada sistem pertahanan dan ekonomi. Karena pembangunan pola pembangunan kedua hal ini pada rezim orde baru bukan semata untuk pembangunan kebangsaan tapi, melindungi kekuasaan tirani.

Bila diperhatikan pembangunan yang bersifat land-based pada saat Soeharto dan kroni-kroninya berkuasa difaktori oleh dua hal. Pertama, Pada tataran filosofi Soeharto adalah seorang jawa yang memiliki tradisi kejawian yang kental. Budaya Jawa hingga kini mendapat pengaruh yang besar dari sistem kehidupan masyarakat Mataram Kuno. Kerajaan hindu tersebut dikenal dengan tradisi pertaniannya. Sehingga identitas kerajaan itu sebagai negeri agraris yang tentu saja pembangunannya adalah bersifat land-based. Kedua, pada strategi pengelolaan kekuasaan, penulis menilai bahwa Soeharto berupaya untuk mengkondusifkan pembangunan dengan stabilisasi politik tangan besi. Maka jawabannya adalah dengan memperbanyak jumlah matra darat sehingga tercipta stabilitas politik itu.

Pembangunan sistem pertahanan di tanah air yang mengutamakan matra darat jelas salah besar. Dalam catatan sejarah, Sovyet dan Amerika Serikat mengutamakan pembangunan sistem pertahanan yang berbeda meski sama-sama negara kontinental. Uni Sovyet mengembangkan matra darat yang kuat sementara Amerika Serikat mengutamakan matra laut. Hasilnya, secara geopolitik – jika tanpa menghitung indikator pengaruh lainnya – jelas Amerika Serikat mampu mengungguli Uni Sovyet dalam sistem pertahanan. Pada waktu Rezim orde baru mengkondusifkan pembangunan dengan menggunakan matra darat, pertahanan dalam menjaga kedaulatan perbatasan sangat lemah. Dalam beberapa kasus pelecehan terhadap wilayah kedaulatan NKRI terjadi begitu saja kala itu – tanpa ada pemberitaan.

Ironisnya hingga era reformasi berlangsung 15 tahun ini, belum ada perubahan total dalam sistem pembangunan pertahanan di tanah air. Hampir tidak jauh berbeda polanya baik orde baru maupun orde reformasi perihal pembangunan – masih “land-based.” Semestinya angkatan laut lah yang kini diutamakan dalam proses pembangunan sistem pertahanan di tanah air. sangat disayangkan TNI beberapa waktu lalu telah memberi tank-tank buatan Belanda dan Jerman dalam skala yang cukup masif. Lalu pertanyaannya untuk apa lagi pembeliaan tank-tank itu? Apakah untuk menggunakan tangan besi kembali di era yang menetapkan menjunjung tinggi hak asasi manusia ini? Pembelian sistem alutista yang tidak jelas seperti ini tentu wajib dikritisi.

Pembangunan sistem pertahanan negeri ini sudah selayaknya mengutamakan matra laut dan udara. Hal ini mengingat perbatasan kita dengan negara tetangga atau pun perairan internasional kebanyakan dibatasi oleh perairan kita sendiri. Lalu banyak kekayaan laut yang belum diberdayakan dan diamankan dengan layak karena minimnya kapabilitas matra laut. Dan hal yang patut diperhitungkan adalah selain identitas geografis kita sebagai negara maritim, tetapi juga ke depan berdasar beberapa literatur pola perang bukan lagi di darat tetapi di perairan.

Penulis pada kesempatan ini mengapresiasi Al'Araf, seorang dosen di Universitas Pertahanan yang berani untuk mengkritik pembelian tank-tank tersebut meskipun harus dikeluarkan dari jabatannya.

Oleh karena itu, Menurut penulis merumuskan identitas geografis menjadi hal yang krusial dalam memilah prioritas atau pun pola pembangunan. Karena tanpa memahami identitas geografis negara dan relasinya terhadap pola pembangunan maka akan ada distorsi yang cukup merugikan. Jika Bill Clinton pernah berucap “It's The Economy, Stupid!”, ya, mungkin saja benar dan mungkin terkadang ada hal lain yang patut dipertanyakan. Itulah identitas.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar